1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Menurut
Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa
ini, timbullah suatu hubungan hukum
antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya
terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana Perjanjian Pada Umumnya?
2.
Apa sajakah Azas-azas Hukum Perjanjian?
3.
Apa sajakah Syarat
Sahnya Perjanjian?
4.
Apa Kelalaian/Wanprestasi
dalam Hukum Perjanjian?
5.
Bagaimanakah Hapusnya Perjanjian?
6.
Bagaimana Struktur Perjanjian?
7.
Apa sajakah Bentuk Perjanjian?
8.
Apa Pengertian Akta?
1.3 TUJUAN
1.
Untuk mengetahui Perjanjian Pada Umumnya.
2.
Untuk mempelajari Azas-azas Hukum Perjanjian.
3.
Untuk mengetahui Syarat Sahnya Perjanjian.
4.
Untuk mengetahui Kelalaian/Wanprestasi dalam
Hukum Perjanjian.
5.
Untuk mengetahui Hapusnya Perjanjian.
6.
Untuk mempelajari Struktur Perjanjian.
7.
Untuk mengetahui Bentuk Perjanjian.
8.
Untuk mempelajari lebih dalam mengenai
Pengertian Akta.
2. TEORI DAN ISI
HUKUM
PERJANJIAN
2.1 Perjanjian
Pada Umumnya
Menurut
Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa
ini, timbullah suatu hubungan hukum
antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya
terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
2.2. Azas-azas Hukum Perjanjian.
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun
ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk
diketahui, yaitu:
1)
Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu
perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya
kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya
perjanjian.
2)
Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para
pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian
sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan.
Azas ini tercermin jelas dalam Pasal
1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.3. Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat, yaitu:
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang
akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan
perjanjian.
Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap
orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak
cakap. Pasal 1330 KUH Perdata
menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:
1)
Orang yang belum dewasa.
Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai
berikut:
(i) Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan
diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau
kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.
(ii) Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun
1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang
Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun,
sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.
2)
Mereka yang berada di bawah pengampunan.
3)
Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan
oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini
sudah tidak berlaku lagi).
4)
Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang
untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian
tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu. Suatu sebab yang halal, yaitu isi
dan tujuan suatu perjanjian haruslah
berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan
dan ketertiban
Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai
orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif,
karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak
mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat
meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang
memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah
pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas
permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka
perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah
dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
2.4. Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang
mengadakan perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat
berupa empat macam, yaitu:
-
Tidak melaksanakan isi perjanjian.
-
Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan.
-
Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
-
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukannya.
2.5. Hapusnya Perjanjian
Hapusnya
suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
a.
Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak dan
kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata
dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan
hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie
diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat
terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH
Perdata).
b.
Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh
penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu cara pembayaran
yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang
dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada
Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti
dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur
kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah
penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang
yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
c.
Pembaharuan utang atau novasi
Adalah
suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam
cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti
debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.
d.
Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah
suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau
memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan
debitur. Jika debitur mempunyai suatu
piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama
berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi
dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak
itu telah terjadi, kecuali:
§
Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan
dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
§
Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu
yang dititipkan atau dipinjamkan.
§
Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada
tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).
e.
Percampuran utang.
Adalah
apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang
(debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu
percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur
menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal
oleh krediturnya.
f.
Pembebasan utang
Menurut
pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi
kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
g.
Musnahnya barang yang terutang.
Adalah
jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat
diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu
masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di
luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h.
Batal/Pembatalan.
Menurut
pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat
antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan
pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu
tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut
Prof. Subekti permintaan pembatalan
perjanjian yang tidak memenuhi
syarat subyektif dapat
dilakukan dengan dua
cara, yaitu:
·
Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian
tersebut di depan hakim.
·
Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu
sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan
kekurangan dari perjanjian itu.
i.
Berlakunya suatu syarat batal.
Menurut
pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila
terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada
keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
j.
Lewat waktu
Menurut
pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk
memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam
pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang
bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa
dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun.
Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat
tersebut menjadi hapus.
2.6. Struktur Perjanjian
Struktur
atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
1.
Judul/Kepala.
2.
Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan
mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.
3.
Keterangan pendahuluan dan uraian singkat
mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
4.
Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
5.
Penutup dari Perjanjian.
2.7. Bentuk Perjanjian
Perjanjian
dapat berbentuk:
a)
Lisan
b)
Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:
-
Di bawah tangan/onderhands
-
Otentik
2.8. Pengertian Akta
Akta adalah
suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang
suatu peristiwa dan ditandatangani pihak yang membuatnya.
Berdasarkan
ketentuan pasal 1867 KUH Perdata suatu akta dibagi menjadi 2 (dua), antara
lain:
a)
Akta Di bawah Tangan (Onderhands)
b)
Akta Resmi (Otentik).
Akta Di bawah Tangan
Adalah
akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang berwenang atau Notaris. Akta ini
yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya. Apabila suatu akta di bawah tangan tidak
disangkal oleh Para Pihak, maka berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal
kebenaran apa yang tertulis pada akta di bawah tangan tersebut, sehingga sesuai
pasal 1857 KUH Perdata akta di bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan
pembuktian yang sama dengan suatu Akta Otentik.
Perjanjian di bawah tangan terdiri dari:
1)
Akta di bawah tangan biasa
2)
Akta Waarmerken, adalah suatu akta di bawah
tangan yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian
didaftarkan pada Notaris, karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak
bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun tanda tangan para pihak dalam
dokumen yang dibuat oleh para pihak.
3)
Akta Legalisasi, adalah suatu akta di bawah
tangan yang dibuat oleh para pihak
namun penandatanganannya disaksikan
oleh atau di hadapan Notaris, namun
Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi dokumen melainkan Notaris
hanya bertanggungjawab terhadap tanda tangan para pihak yang bersangkutan dan
tanggal ditandatanganinya dokumen tersebut.
Akta Resmi (Otentik).
Akta
Otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yang memuat
atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu
keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum pembuat akta itu. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris,
hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai pencatatan sipil, dan sebagainya.
Suatu
akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak
beserta seluruh ahli warisnya atau pihak lain yang mendapat hak dari para
pihak. Sehingga apabila suatu pihak mengajukan suatu akta otentik, hakim harus
menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu
sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan
penambahan pembuktian lagi.
Suatu
akta otentik harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
-
Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan
seorang pejabat umum.
-
Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang.
-
Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu
dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
3. ANALISIS
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata
Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Ada beberapa
azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang
merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu: 1). Azas
Konsensualitas, 2). Azas Kebebasan Berkontrak.
Perjanjian
yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan
perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang
berhak meminta pembatalan tersebut.
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar